Senin, 28 November 2011 0 komentar


Saat Masalah Menuai Iman

            Hidup hakikatnya merupakan perpindahan dari satu masalah ke masalah yang lain. Dari satu ujian ke ujian yang lain. Dan respon setiap orang terhadapnya juga beragam. Ada yang tabah menjalani. Ada yang berkeluh kesah ketika masalah tersebut menghampiri.
            Padahal, setiap orang pasti dan akan bergelut dengan masalah. Selama ia hidup, selama itu pula masalah akan menjadi ‘sahabat’ setianya. Mengiringi tiap detik kehidupan yang dipersembahkannya bagi Yang Maha Hidup.
            Namun, mengapa respon yang diberikan oleh setiap orang berbeda – beda? Apakah yang membuat sikap satu orang dengan yang lainnya berlainan, walaupun masalah yang dihadapi pada hakikatnya sama?
            Jawabannya adalah kesiapan ia dalam menyongsong masalah. Kesiapan untuk melihat bahwa masalah sebenarnya merupakan akibat dari tindakan atau sikap yang diambilnya. Bila sisi positif yang dilihat, maka masalah akan melebur dan iman pun akan tertuai. Tapi bila sisi negatif yang dipilih, maka masalah yang awalnya hanyalah potensi untuk menjadi masalah, akan berbuah menjadi masalah yang sebenarnya.
            Contoh, ketika seseorang mengalami cuaca yang begitu panas. Bila yang dilihat adalah rasa terik membakar kulit, maka hari yang panas itu akan menjadi masalah baginya. Dan keluh kesah pun menjadi cirinya. Namun jika ia memandangnya sebagai suatu kenikmatan karena ketika angin berhembus, ia bisa merasakan sejuknya. Ketika meneguk segelas air, ia merasakan kesegarannya. Maka cuaca panas itu pun tidak menjadi masalah, dan syukur menjadi cirinya. Karena apapun yang dilakukan, pasti akan menuai akibatnya. Dan akibat itu yang mengambil wujud sebagai masalah atau tidak.
            Jadi, kuncinya adalah bersikap atau berpikir positif, dengan berkiblat pada prinsip sabar dan syukur. Karena bukanlah seorang muslim itu akan bersabar ketika ditimpa musibah dan bersyukur saat nikmat ia peroleh?

Sumber : Majalah Swadaya    


Rumus Menyikapi Penghinaan

            Kita akan merasa tidak nyaman ketika ada orang yang menghina, mencela, dan menjauhi diri kita. Hati menganggap ini adalah kejadian yang tidak enak. Sebuah musibah dan bala ketika dihina orang. Hati menjadi jengkel, kecewa dan sedih.
            Rumusnya ketika orang lain menghina, maka segeralah menyimak penghinaan mereka. Bandingkan, apa yang dikatakan orang dengan apa yang Allah ketahui tentang kita. Maksiat mata, maksiat pikiran, maksiat mulut, maksiat yang diam – diam dan tersembunyi. Bandingkan dengan celaan yang menimpa diri kita, mana yang lebih buruk ?
            Sebetulnya penghinaan orang kepada kita jauh lebih baik dibanding keburukan kita yang sebenarnya. Kalau hati lebih sibuk memikirkan perkataan orang dari pada memikirkan apa yang Allah ketahui tentang kita, maka itulah musibah yang lebih besar. Lebih buruk daripada cemoohan dan penghinaan orang – orang.
            Cemoohan itu tidak berbahaya, yang berbahaya adalah kita tidak mengakui segala kebusukan dihadapan Allah. Kalau kita sibuk dengan cemoohan orang, kita tidak bisa bertobat. Tapi kalau kita sibuk dengan apa yang Allah ketahui tentang kita, maka kita bisa bertaubat karena taubat adalah sumber ketenangan. Taubat juga adalah sumber jalan keluarnya rezeki yang tidak di sangka – sangka.
            Jangan merasa berat dengan hinaan dan cemoohan orang karena tidak ada bahaya sama sekali. Yang bahaya itu ketika kita tidak berhasil mengetahui apa yang Allah ketahui tentang kita. Kita tidak ada apa – apanya dihadapan Allah. Orang busuk, banyak dosa, shalat tidak pernah benar, dan banyak sekali kekurangan yang tidak diketahui orang – orang.  
            Sibuklah dengan apa yang Allah ketahui. Sibuklah dengan taubat daripada cemoohan orang. Perkataan paling jelek sekalipun tentang kita masih lebih bagus dibanding kejelekan kita sebenarnya. Harus di ingat bahwa jangankan kita, nabi saja yang sempurna dihina. Para ulama yang saleh pun dihina. Para waliyullah juga dihina. Apalagi kita yang hina betulan.
            Mengapa kita merasa sakit hati ? karena kita terlalu tinggi menilai diri sendiri. Merasa suci, merasa saleh, merasa mulia, dan merasa hebat. Kita tidak jujur pada diri kita dan hal itulah yang menyebabkan hati menjadi sakit. Kalau kita mau jujur, sebenarnya tidak ada apa – apanya penghinaan orang itu.
            Kita senang di puji sehingga hidup penuh dengan akal – akalan supaya tetap dipuji. Allah yang Maha Mengetahui segala isi hati. Ia bisa membalikan orang yang awalnya memuji menjadi mencaci. Mengapa ? supaya kita tidak ‘jinak’ kepada orang yang memuji.
            Allah maha tahu kecenderungan hati kita, jadi jika suatu saat Allah melepaskan kecenderungan tersebut, maka itu adalah karunia dari Allah. Karena itu, ingatlah: Satu, kalau kita dihina orang, carilah apa yang Allah tahu tentang kita. Kedua, kalau ada sesuatu yang diambil dari kita, ketahuilah, periksalah, jangan – jangan yang diambil itu telah menjadi illah kita. Jangan takut apa pun di dunia ini selain takut kehilangan ridha Allah.
Sumber : Majalah Swadaya     


Penyebab gagalnya amal

            Rezeki kita yang sesungguhnya bukanlah pahala dari sebuah amal. Tapi ketika kita bisa beramal dan Allah ridha. Itulah rezeki sesungguhnya. Begitu juga ketika Allah menjanjikan pahala, itu bukan urusan kita adalah sebelum beramal niatnya lurus, sedang beramal dijaga keikhlasannya, dan sesudah beramal maka lupakan. Jangan menganggap amal itu milik kita. Amal itu karunia Allah.
Penyebab gagalnya amal ada 3. Pertama, niatnya tidak benar. Kedua, caranya tidak benar. Dan ketiga, amal tersebut diakui sebagai miliknya. Contoh, sebenarnya sedekah itu tidak ada. Yang ada adalah Allah menitipkan harta dan memberikan kita kesempatan untuk beramal. Allah juga memberi taufik dihati kita berupa keinginan beramal (sedekah).
Perkara bahwa beramal bisa jadi beramal bisa jadi penolak bala, itu sudah janji Allah. Tidak usah ditunggu – tunggu, tidak usah diungkit – ungkit. Perkara nanti Allah membalas dengan berlipat – lipat, itu sudah pasti. Karena janji Allah pasti. Tidak akan meleset. Tidak akan tertukar.
Makanya fokus pada dua hal di awal dan satu hal di akhir. Yang pertama jaga niat lillahi ta’ala. Tidak boleh ada niat lain selain Allah suka/ridha. Kita bersedekah karena Allah suka. Perkara ananti orang lain membalas atau tidak, bukan urusan kita. Urusan kita adalah beramal dan berbuat baik kepada orang lain karena Allah suka.
Apapun kebaikan yang bisa kita lakukan semuanya adalah dari Allah. Jangan mengaku – ngaku. Ada juga yang disebut dengan tawasul. Itu memang menyebut – nyebut kebaikan. Tapi bukan kepada manusia, tapi kepada Allah. Kalau disebut – sebutnya kepada makhluk, dikhawatirkan mendekati riya.
Marilah kita belajar untuk menjadi “pelupa”terhadap kebaikan sekecil apa pun yang dilakukan. Karena sebenarnya kita tidak pernah menolong seseorang. Melainkan Allah menolong seseorang dan kita diuji menjadi jalannya. Kita juga tidak pernah memberi makan orang, yang ada hanyalah Allah memberi makan hamba – Nya lewat kita.
Jangan pernah mengingat – ingat kebaikan, apalagi menuntut orang lain agar membalasnya. Ucapan terima kasih pun tidak usah ditunggu. Apalagi penghargaan. Apakah kita perlu mengingatkan Allah mengenai balsannya? Tidak usah. Allah tidak akan pernah lupa. Sudah begitu cermat dan sempurna Allah menciptakan kita. Tidak pernah meleset. Tidak akan tertukar.
Jadi kesimpulannya, gigihlah dari awal, sempurnakan ketika sedang ikhtiar, dan kemudian lupakan. Tidak ada lagi harapan kecuali hanya satu. Amal kita diterima oleh Allah. Mau dibalas dalam bentuk apa pun, itu terserah Allah.
   Sumber : Majalah Swadaya



Kemestian sebuah perubahan

            Who Moves My Cheese adalah sebuah buku indah. Buku karangan Spencer Johnson ini mengandung filosofi yang mudah dicerna. Menceritakan fenomena sebuah perubahan melalui empat tokoh yang jadi sentralnya, yakni : Sniff dan scurry (dua ekor tikus), Hem (kurcaci) serta Haw (manusia kecil). Tokoh – tokoh imajiner ini memberikan contoh bagaimana mereka menyikapi suatu perubahan.
            Cerita di mulai pada saat chesee disini diilustrasikan sebagai suatu yang menyenangkan (uang, kebahagiaan, atau makanan). Pada suatu saat cheese yang mereka miliki semakin lama jumlahnya semakin sedikit. Sniff dan Scurry dengan penciuman dan nalurinya terus bergerak mencari cheese – cheese yang baru distasiun – stasiun lainnya ( tempat kerja berada ).
            Bagaimana dengan Haw dan Hem? Tak seperti Sniff dan Scurry, mereka malah berdiskusi dan marah, mengapa cheese - cheese berkurang dan hilang. Haw dan Hem meyakini bahwa cheese pergi untuk sementara waktu dan pasti kembali sehingga mereka tetap menunggunya tanpa melakukan apa pun kecuali kecewa dan marah – marah. Perubahan terjadi secara perlahan dan mereka tidak menyadarinya. Pada akhirnya, mereka lelah dan kehabisan tenaga, dan tetap tidak menemukan cheese – nya. 
Sebaliknya, sniff dan scurry terus begerak untuk mencari stasiun – stasiun baru yang penuh dengan cheese. Mereka haqul yakin bahwa hanya dengan terus bergerak dan berlari (melakukan perubahan), mereka bisa mendapatkan cheese- Nya.
Sahabat, dalam banyak hal mungkin kita bersikap dan berpikir seperti Haw dan Hem. Takut berubah dan tak mau untuk berubah. Puas dan merasa “nyaman” dengan apa yang saat ini miliki. Rasa yang sebenarnya racun dalam keberhasilan hidup kita.
Perubahan adalah sebuah kemestian. Tentunya, perubahan ini tak sekedar artifisial belaka. Tak berkisar pada materi dan segala hal yang tampak wujudnya. Perubahan paling memaknai keimanan. Pada nilai – nilai keberagamaan (religiusitas).
Jika selama ini kita beribadah karena paksaan (kewajiban), maka berubahlah! Berubahlan beribadah karena didasari oleh komitmen kita kepada Allah. Komitmen yang terucap pada sahadat keislaman kita.
Jika selama ini kita beribadah hanya mengharap pahala dan menghindari dosa, maka berubahlah! Mulailah beribadah untuk mengharap cinta dan ridha – Nya. Bukan untuk surga dan neraka yang hakikatnya bukanlah apa- apa dibanding kasih sayang – Nya.
Sahabat, mau dan siapkah kita untuk berubah?
Sumber : Majalah Swadaya
    



IKHLAS
Semoga Allah mengkaruniakan kepada kita hati yang ihklas. Karena betapa pun kita melakukan sesuatu hingga bersimbah pelut keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya dihadapan Allah. Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, tak memiliki nilai apapun.
Menafkahkan seluruh harta kalau ingin disebut dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai. Mengumandangkan adzan setiap waktu shalat, tapi selama adzan bukan Allah yang di tuju, hanya sekedar ingin memamerkan keindahan suara supaya menjadi juara adzan atau menggetarkan hati seseorang, maka itu hanya teriakan – teriakan yang tidak bernilai di hadapan Allah. Tidak bernilai!
Ikhlas, terletak pada niat hati, luar biasa lagi pentingnya niat ini, karena niat adalah pengikat amal. Orang – orang yang tidak pernah memperhatikan niat dalam hatinya, bersiap – siaplah untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti. Keikhlasan seseorang benar – benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, indah, dan jauh lebih bermakna.
Apakah ikhlas itu? Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan duniawi dari apa yang ia lakukan. Konsentrasi orang yang ikhlas Cuma satu, yaitu bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Jadi ketika sedang memasukan uang kedalam kotak infak, maka fokus pikiran tidak ke kiri dan ke kanan, tapi pikiran terfokus bagaimana agar uang yang dinafkahkan diterima oleh Allah SWT.  
Buah apa yang didapat dari seorang hamba yang ikhlas? Seorang yang ikhlas akan merasa ketentraman jiwa, ketenangan batin. Betapa tidak? Karena ia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan dan imbalan. Kita tahu bahwa penantian adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Begitu pula menunggu pujian, juga menjadi sesuatu yang tak nyaman. Lebih getir lagi kalau yang kita lakukan ternyata tidak dipuji, pasti kita akan kecewa.
Tapi bagi seorang hamba yang ikhlas, ia tidak akan pernah mengharapkan apapun dan dari siapapun. Kenikmatan baginya bukan dari mendapatkan, tapi dari apa yang bisa dipersembahkan. Jadi, kalau kita mengepel lantai dan didalam hati mengharap pujian, tidak usah heran jika nanti yang datang justru malah cibiran.
Tidak usah heran pula kalau kita tidak ikhlas akan banyak kecewa dalam hidup ini. Orang tidak ikhlas akan banyak tersinggung dan terkecewakan karena ia memang terlalu banyak berharap. Karenanya, biasanya kalau sudah berbuat sesuatu, lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja disisi Allah yang pasti aman. Jangan pula disebut – sebut, diingat – ingat, nanti malah berkurang pahalanya.
Lalu, dimanakah letak kekuatan hamba – hamba Allah yang ikhlas ? Seorang hamba yang ikhlas akan memiliki kekuatan ruhiyah yang besar. Ia seakan – akan menjadi pancaran energi melimpah. Keikhlasan seorang hamba Allah dapat dilihat pula dari raut muka, tutur kata, serta gerak – gerik perilakunya. Kita akan merasa aman bergaul dengan orang ikhlas. Kita tidak curiga akan ditipu, tidak curiga akan dikecoh olehnya. Dia benar – benar bening dari berbuat rekayasa. Setiap tumpahan kata – kata dan perilakunya tidak ada yang tersembunyi. Semua itu ia lakukan tanpa mengharap apa pun dari orang yang dihadapinya. Ia hanya memberikan yang terbaik untuk siapapun.
Sungguh akan nikmat bila bergaul dengan seorang hamba yang ikhlas. Setiap kata – katanya tidak akan bagai pisau yang mengiris hati. Perilakunya pun tidak akan menyudutkan dan menyempitkan diri. Tidak usah heran jika orang ikhlas itu punya daya gugah dan daya ubah yang begitu dahsyat.
Nah saudaraku, orang ikhlas adalah orang yang punya kekuatan. Ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan, Allahu Akbar ! 

Sumber : majalah swadaya



Hakikat Cinta

            Cinta adalah bagian dari fitrah. Orang yang kehilangan cinta, dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukur orang – orang yang diberi cinta dan bisa menyikapinya daengan tepat.
            “ Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa – apa yang diinginkan yaitu wanita, anak – anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik.”(Qs. Ali Imron[3]: 14).
“Cintamu kepda sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli”(HR.Abu Dawud dan Ahmad).
            Cita memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati – hati , cinta bisa menulikan dan membutakan kita.
            Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah. Cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.
            Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta. Tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga mertabat kehormatan, baik wanita maupun laki – laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati – hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.
            Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat (berdua – duaan), jangan dekati zina dalam bentuk apa pun dan jangan saling bersentuhan.
            Bagi orang tua memperbolehkan anaknya berpacaran, harus siap – siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kepada Allah dengan memperbanyak shalawat, dzikir, istighfar dan shalat sehingga tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Seperti cinta padahal nafsu belaka.   

Sumber : Majalah Swadaya
   



Ciri Ahli Ma’rifat
          
  Hati ini diciptakan Allah untuk menjadi tempat kebahagiaan hakiki. Karena itu harus selalu dekat dengan Allah. Bila hati sudah terisi dunia, Allah tidak mau mengisinya. Begitupun cinta kepada manusia, harus yang dapat mendekatkan kepada Allah.


Cinta kepada anak istri diperbolehkan sepanjang menjadi pengingat kepada Allah. Sebaliknya, bila cinta kepada anak istri membuat lalai, berjarak, dan jauh dari Allah, maka segera kurangi cinta itu. Cukuplah cinta sekedarnya saja. Bagaimana pun, makhluk tidak boleh menjadi penghalang cinta kepada Allah.


Jika kita merasa sudah bergaul dengan banyak orang, namun hati merasa tidak nyaman dan terasa keras, ini sebenarnya gejala bahwa Allah masih ingin dekat dengan kita. Tapi bila masih nyaman saja bergaul dan berbincang dengan banyak orang, maka bisa jadi itu gejala hijab dengan Allah.


Sebelum kita minta sesuatu, Allah sudah sangat tahu kebutuhan kita. Karena memang Allah yang membuat kebutuhannya. Tapi, Allah sangat menyukai hamba – Nya yang memohon, berdoa dengan segala kerendahan,. Berdoa dengan hati yang bersih, adalah ciri dikabulkannya doa. Jika Allah ingin memberikan mustajab (terkabulnya) doa, maka Allah juga akan memberikan kemampuan kepada seorang untuk berdoa dengan khusyu.


Ciri seorang ahli ma’rifat adalah selalu merasa membutuhkan Allah. Tidak pernah merasa tenang dan nyaman, bila bersandar kepada selain Allah. Bila mau bicara, ia minta dituntun Allah. Selama bicara pun ia selalu berdoa, minta diampuni jika khilaf. Bila bersedekah, ia juga minta diberi keikhlasan. Bila bearjalan, minta dijaga pandangannya. Pokoknya, ia selalu minta yang terbaik dari Allah. Sebaliknya, orang yang tidak kenal Allah, jarang meminta kepada Allah. Ia merasa sudah tahu dan bisa berbuat dengan ilmunya.


Orang yang ma’rifat juga sangat takut jika tidak dibimbing dan dilindungi Allah. Kebahagiaannya justru dari ketidaknyamanan karena takut kepada Allah. Karena baginya, kebahagiaan sejati adalah bila takut dan harap kepada Allah semata.

Sumber : majalah Swadaya